Gabungan aktivis 27 Juli memberi kesempatan kepada pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono untuk mundur sebelum Oktober 2011. Jika tidak, mereka mengancam akan melakukan aksi besar-besaran untuk menjatuhkan pemerintahan.
"Bulan Oktober Pemerintahan SBY-Boediono kita vonis jatuh. Tidak ada lagi kompromi, tidak mungkin lagi dikasihani," tegas Mustar Bona Ventura, aktivis 27 Juli kepada Kompas.com di sela acara mimbar bebas peringatan Peristiwa 27 Juli di bekas kantor Partai Demokrasi Indonesia (PDI), Jalan Diponegoro 58, Jakarta Pusat, Rabu (27/7/2011).
Menurut Mustar, pemerintahan SBY-Boediono telah gagal mewujudkan kesejahteraan rakyat. Pemerintah juga dianggap lebih mementingkan kemakmuran diri dan kelompok pendukung, termasuk partai politik masing-masing, dibandingkan rakyat. "Karena itu rezim ini kami anggap telah gagal total dan harus mundur," ujar Mustar.
Pria yang lebih dikenal sebagai aktivis Benteng Demokrasi Rakyat (Bendera) ini menegaskan, pernyataannya bukanlah ancaman kosong. "Kami sudah melakukan konsolidasi besar-besaran dengan kelompok-kelompok aktivis daerah. Oktober nanti mereka akan masuk Jakarta," ungkapnya.
Pihaknya juga sudah mengadakan pembicaraan intensif dengan kalangan kampus. Ia menandaskan, mahasiswa masih diposisikan sebagai salah satu faktor pendukung utama dalam gerakan besar-besaran nanti. Menurut Mustar, aksi tersebut siap digelar setelah liburan Lebaran usai.
Ia mengemukakan, konsolidasi menjadi lebih mudah karena adanya faktor yang sama sebagai pemersatu. "Semuanya sudah merasa SBY-Boediono tidak pantas lagi memimpin negara ini, terutama dengan banyaknya kasus korupsi yang tidak mampu dibereskan," kata Mustar.
Aktivis 27 Juli lainnya, Alo Abi menambahkan, pemerintahan SBY-Boediono sebenarnya adalah metamorfosis dari pemerintah Orde Baru. "Mereka adalah tokoh-tokoh, tangan-tangan Orde Baru juga yang saat ini memegang kekuasaan. Bagaimana mungkin kita berharap pada pemerintahan seperti ini?" papar Alo yang mendapat kesempatan menyampaikan orasi penutup.
Alo mencontohkan, SBY adalah Kepala Staf Kodam Jaya yang menjadi tangan pemerintahan Soeharto dalam meredam gejolak pengikut Megawati yang berujung pada peristiwa berdarah 27 Juli 1996.
Menurut Alo, sulit berharap pada para tokoh politik saat ini untuk melakukan gerakan perubahan karena semuanya saling memegang kartu truf masing-masing. "Semua tokoh politik saat ini hanya berusaha menjaga harmoni antarmereka. Mereka tidak bisa saling buka kartu, karena semuanya berkasus dan bisa menjadi bumerang bagi diri sendiri," katanya.
Alo mengatakan, kesuksesan suatu pemerintahan diukur dari kesejahteraan masyarakatnya. Prinsip Salus populi suprema lex esto diterjemahkannya sebagai kesejahteraan rakyat sebagai legitimasi tertinggi sekaligus tujuan utama suatu pemerintahan. "Kalau pemerintah tidak mampu membuat rakyat sejahtera dengan sendirinya legitimasi itu hilang," kata Alo.
Sebagaimana Mustar, Alo juga berpandangan bahwa SBY-Boediono telah gagal mencapai tujuan pemerintahan. Karena itu, cara terbaik adalah gerakan massa untuk melakukan perubahan dan mengganti pemerintahan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silakan Tulis Komentar Anda