Di mata mayoritas lelaki, perempuan itu makhluk berhati pualam yang harus diberi perlindungan dan kasih sayang. Bagaimana jadinya jika jutaan pria di sebuah negeri justru memilih perempuan jadi pemimpin, seperti Megawati Soekarnoputri sebagai presiden ke-5 RI? Tentu ini bukan tanda kekalahan kaum laki-laki. Wong mereka ikut berjingkrak saat Mbak Mega menang! Barangkali, begitulah demokrasi seharusnya, tak mengenal perbedaan jender.
Bicara soal mandat rakyat buat pemimpin perempuan, daftarnya bisa amat panjang. Termasuk di dalamnya nama beken abad silam, seperti Ratu Pharaoh Hatshepsut (Mesir, 1503 - 1482 SM), Cleopatra (Mesir, 69 - 30 SM), Zenobia (Syiria, 3 M), Isabella (Spanyol, 1451 - 1504) atau Mary Tudor (Inggris, 1516 - 1558), dan masih seabrek lagi.
Agar lebih familiar, kita sorot saja para pemimpin wanita abad XX - XXI. Sebagian besar masih menumpang nama besar suami, ayah, atau mertua. Namun, tak sedikit yang mencuat karena kecerdasan, ketegasan, dan ketabahannya dalam mencapai tujuan. Pelajaran apa yang bisa dipetik dari mereka?
Tegas menjaga integritas
Kalau keberhasilan pemimpin diukur berdasar kemampuannya menyelesaikan persoalan genting, mantan Perdana Menteri (PM) Inggris Margaret Hilda Thatcher (76) mungkin jagonya. Wanita kelahiran Grantham itu selama 10 tahun menjadi singa podium Majelis Rendah, sebelum dipercaya menjadi Menteri Pendidikan dan Sains (1970 - 1974).
Tak lagi menjadi menteri (1975), ahli kimia lulusan Hardvard University ini pun bersaing memperebutkan jabatan pimpinan Partai Konservatif, dan menang. Empat tahun kemudian, dia sukses besar dalam Pemilu, membawanya langsung ke kursi PM. Tapi, tugas istri Denis Thatcher ini jelas tak mudah.
Banyak tantangan menuntutnya bertindak tegas, terutama soal keutuhan wilayah. Ujian terberat datang saat Argentina menyerang dan menduduki Kepulauan Falkland. Sejenak, dunia seperti lupa Thatcher itu wanita, karena keberaniannya melebihi lelaki. Dia langsung memerintahkan Menhan John Nott mengirim ribuan pasukan dengan kawalan 50 kapal perang. Akhirnya, tak kurang dari satu bulan, Argentina menyerah.
Thatcher pun dijuluki "Wanita Besi".
Julukan itu mengental saat dia kukuh membela privatisasi fasilitas publik, termasuk layanan kesehatan. Thatcher juga menghadapi pemogokan buruh tambang yang dimotori Nation Union of Miners, serta "berperang" melawan program ekonomi sosialis yang diprakarsai Partai Buruh.
Namun, dia tetap konsisten. Sikap yang membuatnya didukung banyak pihak, hingga dipercaya memerintah dalam tiga periode (hasil Pemilu 1979, 1983, dan 1987). Dialah Perdana Menteri Inggris pertama di abad XX, yang memerintah tiga periode berturut-turut.
Tahun 1980, Thatcher dipaksa mengundurkan diri sebagai PM, menyusul sikap kerasnya terhadap rencana penyatuan Eropa. Sebuah akhir perjalanan yang khas. Karena sampai titik darah penghabisan, dia tetap membesi, keras tanpa kompromi.
Tak suka politik
Cory, sebutan akrab Corazon Aquino, justru kebalikan dari Thatcher. Aktivitas politiknya dimulai tanpa sengaja. Andai orang-orang suruhan Presiden Ferdinand Marcos tak menembak mati suaminya, ceritanya mungkin berbeda.
Benigno Aquino, saat itu memang sosok istimewa. Dia memegang berbagai rekor, mulai walikota termuda (umur 22 tahun), gubernur termuda (29 tahun), hingga presiden termuda, kalau Marcos tidak memenjarakannya tanpa alasan jelas, menjelang Pemilu 1973. Tujuh tahun Ninoy - panggilan akrab Benigno - menjadi tahanan politik.
Atas jaminan Amerika, ia dilepas untuk menjalani operasi jantung di New York. Tiga tahun kemudian (1983), Benigno memutuskan kembali ke Filipina. Tahun itu juga, Cory dihadapkan pada pilihan rumit. Saat pemakaman, sekitar dua juta orang simpatisan meminta Cory memimpin barisan.
Sementara di "belahan bumi lain", Marcos masih jadi hantu menakutkan bagi siapa pun. Dia tak kenal kata kalah selama jadi politikus. "Lihat, di sini tidak ada orang miskin seperti negara lain," sumbar Imelda Marcos, sang first lady. Padahal, statistik mencatat, tujuh dari sepuluh orang Filipina hidup di bawah garis kemiskinan. Di tengah kondisi demikian, Cory melamar untuk posisi presiden. Siapa pun saat itu pasti mengakui, kekuatan Cory terletak pada kehidupan politiknya yang tanpa dosa dan kemampuannya menggerakkan revolusi menjadi kekuatan moral.
Di tengah kejenuhan memandang politisi korup, maka nilai-nilai kejujuran, harapan, dan persahabatan yang diusungnya terasa menyejukkan.
Dalam Pemilu Februari 1986, Marcos mengklaim sebagai pemenang. Namun, jutaan rakyat menyaksikan berbagai kejanggalan, di antaranya tidak terdaftarnya sekitar tiga juta pemilih tanpa sebab masuk akal. Saat Menhan Juan Ponce Enrille bergabung dengan khalayak, Marcos lari tunggang langgang ke Hawaii.
Sejarah dunia mencatat revolusi ini sebagai paling unik, mengingat wajah kemanusiaannya begitu kental. Cory berhasil mengombinasikan politik dan humanisme secara bersamaan. Dua hal yang dalam teori politik kerap berseberangan. Anggota Kongres AS, Stephen Solarz bahkan menyebutnya "probably the most popular head of state in the world".
Dengan kekuatan moralnya, Cory bertahan dari upaya kudeta 1987, berdamai dengan pemberontak komunis (sesuatu yang sulit dilakukan Marcos), meringankan beban utang luar negeri, membangun kembali sistem politik yang demokratis serta menyelenggarakan Pemilu damai pada 1992. Ia bisa saja terpilih kembali. Tapi, wanita yang identik dengan warna kuning ini lebih memilih menjadi kekuatan moral. Menjadi "hati" bangsanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silakan Tulis Komentar Anda