Mendengar kata technopreneurship yang muncul dalam benak semua orang adalah gabungan antara teknologi dengan entrepreneurship, atau kombinasi antara semangat untuk mandiri dengan dukungan teknologi.
Jumlah pengguna internet di tanah air telah mencapai 28 juta, jumlah yang sangat fantastis, jika pengguna ini dikalikan dengan 10 negara saja maka sudah ada 280 juta pengguna internet di seluruh dunia, dengan asumsi hanya 10 negara yang memiliki fasilitas infrastruktur yang seperti Indonesia, dalam realita jumlah pengguna internet sudah mencapai miliaran.
280 juta pengguna internet ini mampu menjadi sebuah target marketing yang luar biasa, jika kita bisa memiliki 1 produk dengan keuntungan 1000 per produk, jika dalam 1 hari hanya laku 1 produk saja dan yang membeli hanya 1 % dari total pengguna internet maka kita hanya akan mendapatkan 2, 8 M dalam sehari. Hitungan ini tentu saja baru sebuah pemikiran karena selama ini menggarap pasar ekspor maupun shipping ke luar negeri masih digarap oleh pebisnis bermodal besar.
Bagaimana jika hanya punya modal kecil? Mengapa tidak membuat blog gratisan? Misalkan saja di Blogger atau Wordpress, Biaya disesuaikan dengan biaya akses per jam di warnet, kemudian mendaftar ke Google Adsense, Teks Link Ad, Ciao atau upload file ke Ziddu. Jika merasa tertantang dengan pemasaran bisa menjadi affiliate dari Amazon.com
Technopreneurship adalah sebuah solusi, bagi semua orang, bagi UKM maka web bisa menjadi sarana berpromosi, bagi mahasiswa yang ingin mendapatkan penghasilan tambahan diluar jam kuliah yang padat, monetisasi blog bisa menjadi pilihan, atau bahkan menerjunkan diri di dunia paid review. Mengenalkan technopreneurship sejak dini berpeluang merangsang munculnya pengusaha – pengusaha online muda yang tertantang untuk menciptakan lapangan pekerjaan bukan mencari pekerjaan, jika lulus mereka bisa menciptakan lapangan pekerjaan, masihkah orang akan menghindari bangku kuliah?
Masyarakat masih berparadigma bahwa untuk apa susah payah kuliah jika akhirnya kesulitan mencari pekerjaan, beberapa HRD memberikan statemen bahwa sebenarnya lowongan yang tersedia sangat banyak tetapi kandidat atau calon yang melamar untuk menempati sebuah posisi tidak memiliki atau kurang memiliki kompetensi seperti yang disyaratkan oleh lowongan yang ada.
Kampus adalah sebuah tempat untuk membentuk kompetensi bagi mahasiswanya, jika salah satu kompetensinya adalah menciptakan lapangan pekerjaan untuk banyak orang maka bukan tidak mungkin, semahal apapun biaya kuliah, orang akan berlomba – lomba untuk memasuki bangku kuliah, dengan harapan mereka akan memiliki kompetensi yang akan membuat mereka mampu menciptakan lapangan pekerjaan dan membuat mereka mapan secara financial.
Technopreneurship bukan lagi sebuah visi, tetapi sebuah solusi untuk meningkatkan daya saing bangsa, jika bahasa asing sudah menjadi menu keseharian, jika bahasa kode sudah menjadi sesuatu yang terus menerus disantap, jika informasi begitu cermat diolah sehingga menghasilkan pendapatan, masihkah menggantungkan diri pada pemerintah untuk mengubah nasib hidup jutaan warga Negara.
Pemerintah perlu bekerjasama dengan beberapa pihak kampus untuk mensukseskan penciptaan lapangan pekerjaan dari kampus, dengan technopreneurship maka jumlah pengangguran bisa ditekan, informasi tentang kebijakan bisa diinformasikan dengan lebih cepat, sebuah simbiosis mutualisme yang sangat menarik. Pengentasan pengangguran dan kemiskinan adalah tanggung jawab bersama dan technopreneurship adalah salah satu solusi yang di gagas oleh Rektor ITB, semoga gagasan ini akan berkembang seperti jamur di musim hujan dan segera memberi dampak positif bagi dunia usaha maupun dunia pendidikan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silakan Tulis Komentar Anda