Beasiswa program doktor di luar negeri dari Pemerintah Provinsi (Pemprov) Sulawesi Selatan diduga telah ditilap. Pasalnya, sejumlah penerima beasiswa tersebut diduga tidak kuliah di luar negeri, melainkan hanya kuliah di Pascasarjana Universitas Hasanuddin dan Pascasarjana Universitas Negeri Makassar (UNM).
Padahal, mereka telah menerima dana beasiswa tersebut hingga ratusan juta rupiah per orang. Diduga, kasus ini diketahui oknum pejabat di lingkup Dinas Pendidikan Sulsel. Namun oknum tersebut membiarkan setelah diduga menyunat sebagian beasiswa tersebut.
Beberapa penerima beasiswa yang tak kuliah di luar negeri tersebut di antaranya diduga berinisial AI dan DL.
Sumber Tribun yang juga salah seorang penerima beasiswa tersebut, Selasa (8/3), membeberkan bahwa mereka yang kuliah di Makassar melakukan manipulasi dengan modus mendaftar di program pascasarjana di perguruan tinggi di luar negeri sesuai dengan yang direkomondasikan penyedia beasiswa.
"Alasannya mereka dipecat dari perguruan tinggi luar negeri padahal tidak. Mereka lalu menghabiskan dana yang berkisar Rp 50 juta hingga Rp 400 juta yang telah diberikan. Sebagian dari itu digunakan untuk biaya kuliahnya yang saat ini sedang dijalani di Makassar," kata sumber Tribun tersebut.
Pemberian beasiswa tersebut mengacu Surat Keputusan Gubernur Sulsel Syahrul Yasin Limpo bernomor 688/III/Tahun 2010 tanggal 26 Maret 2010 tentang Penetapan Penerima Beasiswa Program S3 Luar Negeri Angkatan I Tahun 2009 dan Angkatan II Tahun 2010. Pada SK ini tercantum ada 81 penerima beasiswa angkatan I dan 120 penerima beasiswa angkatan II.
Pemberian beasiswa tersebut merupakan perwujudan komitmen Syahrul untuk mencetak 500 doktor lulusan luar negeri asal Sulsel. Anggaran yang disediakan untuk program ini senilai Rp 23 miliar.
Negara tujuan penerima beasiswa Pemprov Sulsel adalah Malaysia, Australia, Jepang, dan Selandia Baru. Di empat negara tujuan, mereka kuliah di perguruan tinggi ternama yang selama ini menjadi idola.
Penerima beasiswa tersebut berlatar belakang beragam. Ada yang berprofesi sebagai guru SD, guru SMP, SMA/SMK, dosen, staf kampus, dan pegawai di sejumlah SKPD jajaran Pemprov Sulsel. (cr1)
Patabai: Dilakukan Pengawasan Ketat
Kepala Dinas Pendidikan Sulsel Andi Patabai Pabokori yang dikonfirmasi Tribun, kemarin, membantah tudingan tersebut. Menurutnya, pengawasan penerima beasiswa S3 ke luar negeri tersebut dilakukan secara ketat. Selain itu, perkembangan studi mahasiswa yang mendapat beasiswa pemprov juga rutin dilakukan.
Setiap penerima beasiswa pemprov disebutkan sudah meneken perjanjian dengan pemprov untuk menyelesaikan studinya sesuai waktu penyelesaian studi. Bahkan, bagi penerima beasiswa yang melanggar ketentuan dan tidak mampu menyelesaikan studinya akan mengembalikan seluruh beasiswa yang diterimanya.
"Selain itu, mereka yang ikut seleksi diwajibkan meneken kontrak untuk menyelesaikan studi maksimal 2,5 tahun. Jika lewat, mereka akan menanggung sisa kelanjutan biaya studinya. Kami juga ada tim monitoring untuk mengawasi bahkan secara periodik memantau sampai ke luar negeri," jelas Patabai. Patabai hanya membenarkan jika sejumlah penerima beasiswa memilih pindah negara. Perpindahan negara tujuan pendidikan itu dilakukan dengan melakukan rasionalisasi sesuai kebutuhan biaya pendidikan di negara yang dituju.
Menurutnya, "mutasi" negara tersebut disebabkan karena penerima beasiswa terkendala perkembangan studi maupun bahasa. Alasan lainnya, menurut Patabai, juga dikarenakan mahasiswa bersangkutan tidak mendapatkan supervisor atau pembimbing sampai terkendala cuaca.
"Kalau pindah negara memang ada. Misalnya ada yang pindah dari Australia ke Malaysia atau dari Newzealand ke Malaysia. Alasannya bermacam-macam. Tetapi pindah negara, tidak lantas pindah kuliah ke sini (Makassar)," jelasnya.
Hingga tahun ini, Pemprov Sulsel disebutkan sudah mengeluarkan hingga 1.000 beasiswa strata satu (S1) serta memberikan beasiswa bagi 100 mahasiswa program S3 ke luar negeri setiap tahunnya. Saat ini, sekitar 215 mahasiswa S3 dari Sulsel menempuh pendidikan di luar negeri sejak tahun 2008 lalu.
Sebanyak 55 persen mahasiswa S3 itu menempuh pendidikan di Malaysia, sedangkan sisanya tersebar di Jepang, New Zealand, Singapura, dan Australia. Biaya pendidikan bervariasi dari yang terendah di Malaysia berkisar Rp 120 juta dan termahal di Jepang senilai Rp 450 juta hingga selesai.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silakan Tulis Komentar Anda