Telah diuraikan sebelumnya rumusan Pancasila mulai dari pidato Ir Soekarno di depan Sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (Dokuritsu Zyumbi Tyoosakai) pada tanggal 1 Juni 1945, dan perkembangan selanjutnya baik yang dirumuskan oleh Panitia Sembilan serta yang tercantum dalam Pembukaan berbagai Undang-Undang Dasar yang pernah berlaku di Negara kita. Ada baiknya kita ulang dengan singkat rumusan-rumusan Pancasila atau dasar negara tersebut untuk memudahkan analisis lebih lanjut.
Rumusan Bung Karno pada tanggal 1 Juni 1945
Kebangsaan Indonesia,
Internasionalisme atau perikemanusiaan,
Mufakat atau demokrasi,
Kesejahteraan sosial,
Ketuhanan yang berkebudayaan.
Dasar negara yang lima ini oleh Bung Karno dengan tegas dan nyata diusulkan namanya Pancasila.
Rumusan Panitia Sembilan
ke-Tuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya,
menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab,
persatuan Indonesia, dan
kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, serta
dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Dasar negara rumusan tersebut di atas biasa disebut Piagam Jakarta atau Jakarta Charter, dan tidak disebut kata Pancasila. Rumusan tersebut telah disepakati oleh Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia, pada tanggal 16 Juli 1945. Rumusan tersebut aslinya berupa suatu kalimat yang panjang.
Keputusan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia tanggal 18 Agustus 1945
ke-Tuhanan Yang Maha Esa,
kemanusiaan yang adil dan beradab,
persatuan Indonesia, dan
kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusya-waratan-perwakilan, serta
dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Rumusan tersebut terdapat dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia, tanpa disebut istilah Pancasila. Dalam Berita Republik Indonesia terdapat sedikit perbedaan tata tulis, yang memiliki makna yang cukup berarti.
Rumusan dalam Mukaddimah Konstitusi Republik Indonesia Serikat
ke-Tuhanan Yang Maha Esa,
peri-kemanusiaan,
kebangsaan,
kerakyatan,
keadilan sosial.
Rumusan dalam Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia
Sama dengan rumusan dalam Konstitusi Republik Indonesia Serikat. Baik dalam Konstitusi RIS maupun dalam UUDS, tidak terdapat kata Pancasila, namun dalam pidato-pidato resmi baik oleh Presiden Soekarno maupun para pejabat menyebut lima dasar tersebut adalah Pancasila.
Dekrit Presiden Republik Indonesia 5 Juli 1959
Dekrit tersebut berdasar pada Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 150 Tahun 1959, dan terdapat dalam Lembaran Negara Republik Indonesia No. 75, 1959. Rumusan Pancasila sama dengan rumusan yang terdapat dalam Pembukaan UUD Negara Republik Indonesia tanggal 18 Agustus 1945, dengan sedikit perubahan rumusan sila ke-empat, yakni kata “permusyawaratan-perwakilan” diubah menjadi “permusyawaratan/perwakilan” sesuai dengan yang terdapat dalam Berita Republik Indonesia Tahun II No. 7.
Perubahan UUD 1945
Meskipun pada tahun 1999 – 2002 MPR RI telah menyelenggarakan perubahan terhadap UUD 1945 sebanyak empat kali, namun Pembukaan tidak diubah sama sekali, sehingga rumusan dasar negara tetap tidak mengalami perubahan.
Demikianlah perkembangan rumusan rancangan dasar negara, maupun dasar negara Republik Indonesia sejak tahun 1945 hingga kini. Meskipun dasar negara tersebut tidak disebut Pancasila secara eksplisit dalam UUD, namun dalam berbagai peraturan perundang-undangan terdapat ketentuan yang menetapkan bahwa dasar negara itu adalah Pancasila. Berikut disampaikan beberapa ketetapan tersebut.
Dalam Ketetapan MPRS RI No.XX/MPRS/1966, menyebutkan di antaranya :”Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia, atas nama Rakyat Indonesia, menetapkan Dasar Negara Republik Indonesia adalah Pancasila, yakni Ke-Tuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, dan Keadilan Sosial.”
Meskipun dengan Ketetapan MPR RI No. III/MPR/2000, Ketetapan MPRS RI No.XX/MPRS/1966 telah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi, namun utamanya pencabutan tersebut adalah mengenai tata urutan perundang-undangan. Dalam TAP MPR RI No.III/MPR/2000 tersebut, pasal 1 menetapkan :”Sumber hukum dasar nasional adalah Pancasila sebagaimana yang tertulis dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia.” Dengan demikian tidak diragukan lagi bahwa dasar negara yang terdapat dalam Pembukaan UUD 1945 itu adalah Pancasila yang disepakati oleh rakyat Indonesia.
Lebih lanjut dalam Ketetapan MPR RI No.XVIII/MPR/1998, pasal 1 menetapkan bahwa :”Pancasila sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 adalah dasar negara dari Negara Kesatuan Republik Indonesia harus dilaksanakan secara konsisten dalam kehidupan bernegara.” Ketetapan ini lebih menegaskan mengenai dasar negara NKRI yang bernama Pancasila.
Implementasi Pancasila pada masa Pemerintahan Presiden Soekarno
Implementasi Pancasila pada masa pemerintahan Presiden Soekarno dapat dibagi menjadi tiga tahapan, yakni (1) tahap perjuangan 1945 – 1949, (2) tahap pemerintahan RIS dan berdasar UUDS, (3) tahap setelah dekrit Presiden 1959 sampai 1966.
Implementasi Pancasila pada Tahap Perjuangan 1945 – 1949.
Pada masa itu upaya untuk mengimplementasikan Pancasila secara sistematis dan terencana belum dapat direalisasikan, karena segala daya dan upaya bangsa dikerahkan untuk mempertahankan berdirinya negara yang baru saja diproklamasikan. Lebih-lebih karena tentara Belanda mendesak terus, sehingga Pusat Pemerintah Republik Indonesia terpaksa pindah dari Jakarta ke Yogyakarta.
Belanda dalam rangka menguasai kembali Indonesia menerapkan pendekatan membentuk negara-negara kecil untuk dijadikan negara federal dibawah payung Ratu Yuliana. Untuk sementara dibentuknya BFO (Bijeenkomst voor Federaal Overleg) yang terdiri atas negara-negara Indonesia Timur, Pasundan, Jawa Timur, Madura, Sumatra Timur dan Sumatra Selatan, serta satuan-satuan kenegaraan seperti Jawa Tengah, Bangka, Belitung, Daerah Istimewa Kalimantan Barat, Dayak Besar, Daerah Banjar, Kalimantan Tenggara dan Kalimantan Timur. Unsur-unsur inilah yang kemudian terikat menjadi Republik Indonesia Serikat bersama dengan Negara Republik Indonesia yang berpusat di Yogyakarta. Sementara itu bangsa Indonesia tetap berpegang pada prinsip yang terdapat dalam Pancasila, yakni persatuan dan kesatuan negara bangsa Indonesia. Oleh karena itu dalam waktu sekitar sembilan bulan Republik Indonesia Serikat telah menjelma lagi menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Ini merupakan salah satu perjuangan bangsa untuk mewujudkan Pancasila khususnya sila ketiga, yakni persatuan Indonesia.
Dalam era tersebut juga telah diupayakan implementasi Pancasila dalam bidang pendidikan dengan terbitnya Undang-undang No.4 tahun 1950 tentang Dasar-dasar Pendidikan dan Pengajaran di Sekolah. Pasal 3 menyebutkan :”Tujuan pendidikan dan pengajaran ialah untuk membentuk manusia susila yang cakap dan warganegara yang demokratis serta bertanggung jawab tentang kesejahteraan masyarakat dan tanah air.” Bila kita renungkan secara tenang maka rumusan tersebut merupakan upaya untuk merealisasikan Pancasila dalam pendidikan dan pengajaran. Selanjutnya pasal 4 menyebutkan :”Pendidikan dan pengajaran berdasar atas asas-asas yang termaktub dalam Pancasila Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dan atas kebudayaan kebangsaan Indonesia.” Dengan tegas dinyatakan bahwa usaha dalam bidang pendidikan dan pengajaran adalah untuk mewujudkan Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Implementasi Pancasila pada Masa Pemerintahan RIS dan UUDS.
Implementasi Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara pada masa pemerintahan Republik Indonesia Serikat dan pada masa implementasi Undang-Undang Dasar Sementara agak tersendat, utamanya disebabkan oleh adanya pasal dalam UUDS yang menyebutkan bahwa perlu dibentuk UUD yang baru. Bab V pasal 134 menyebut-kan :”Konstituante (Sidang Pembuat Undang-Undang Dasar) bersama-sama dengan Pemerintah selekas-lekasnya menetapkan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia yang akan menggantikan Undang-Undang Dasar Sementara ini.” Pada tanggal 15 Desember 1955 diselenggarakan pemilihan umum bagi anggota-anggota Konstituante dan mengasilkan 542 orang anggota yang mewakili 18 fraksi dan satu golongan yang tidak berfraksi. Anggota Konstituante dilantik pada tanggal 10 Nopember 1956.
Namun setelah bersidang sekitar tiga tahun Konstituante tidak mampu melaksanakan tugasnya, sehingga pada tahun 1959 Presiden Republik Indonesia menawarkan untuk kembali ke Undang-Undang Dasar 1945. Setelah diadakan voting sebanyak tiga kali ternyata tidak memenuhi ketentuan untuk dapat diambil keputusan. Jumlah suara yang setuju untuk kembali ke UUD 1945 telah melebih 50%, tetapi tidak mencapai 2/3. (pertama 269 – 199, kedua 263 – 203, ketiga 264 – 204). Akhirnya setelah melalui berbagai pendekatan, pada tanggal 5 Juli 1959, Presiden Republik Indonesia menentukan dekrit kembali ke Undang-Undang Dasar 1945.
Bila kita cermati bahwa Konstituante tidak berhasil merumuskan UUD baru bagi Negara Kesatuan Republik Indonesia, karena terjadinya perdebatan yang seru, yakni adanya sementara golongan/partai yang ingin mengubah dasar negara selain dari Pancasila. Akhirnya dengan dekrit Presiden, kembali ke UUD 1845, maka dasar negara tetap Pancasila hingga dewasa ini. Namun sebelum terjadinya dekrit tersebut Presiden Soekarno telah melemparkan berbagai gagasan mengenai implementasi Pancasila, di antaranya mengenai demokrasi terpimpin. Gagasan tersebut menimbulkan reaksi cukup keras dari masyarakat, sehingga dirasakan oleh Bung Karno untuk menjelaskannya. Dalam ceramah/kuliahnya pada tahun 1958 dan 1959 sebelum terjadinya dekrit, Bung Karno memberikan penjelasan yang cukup panjang lebar mengenai Pancasila, yang di dalamnya dikupas juga mengenai demokrasi terpimpin.
Implementasi Pancasila setelah kembali ke UUD 1945
Setelah terjadi dekrit presiden pada tanggal 5 Juli 1945, pada peringatan ulang tahun kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945, Presiden Soekarno berpidato di depan umum, yang merupakan kebiasaan yang dilakukan oleh Presiden Soekarno setiap tanggal 17 Agustus. Pidato tersebut diberi judul “Manifesto Politik Indonesia.” Manifesto Politik tersebut berisi program pembangunan bangsa Indonesia dalam menjalankan revolusinya. Untuk memudahkan dalam memahaminya Manifesto Politik tersebut dirumuskan menjadi USDEK, singkatan dari Undang-Undang Dasar 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin dan Kepribadian Indonesia. Oleh karena itu masyarakat umum menyebutnya menjadi Manipol-USDEK.
Untuk mensosialisasikan gagasan tersebut diselenggarakan semacam penataran pada segala lapisan masyarakat. Salah satu bentuk sosialisasi adalah dengan membuat tugu-tugu batas antar desa yang berisi tulisan Manipol USDEK. Bahkan di Jawa Tengah rumah-rumah penduduk gentengnya dicat dengan tulisan USDEK dengan huruf besar-besar. Nampaknya kesempatan ini dimanfaatkan oleh partai politik tertentu untuk melancarkan aksi-aksinya. Salah satu gerakan yang dilakukan adalah dalam bidang pendidikan. Dikembangkan kurikulum tahun 1964, yang isinya di antaranya pendidikan agama bukan matapelajaran wajib. Bila orang tua berkeberatan terhadap penyelenggaraan pendidikan agama bagi anaknya, anak diperkenankan untuk tidak mengikuti pelajaran tersebut. Dikembangkan program pendidikan Panca Wardana yang merupakan penjabaran dari konsep Manipol-USDEK. Untuk masyarakat luas disiapkan Tujuh Bahan Pokok Indoktrinasi yang berisi penjabaran Manipol-USDEK, serta tentang Revolusi yang sedang diselenggarakan oleh bangsa Indonesia. Karena diduga bahwa program-program tersebut bernuansa pada ideologi yang diperjuangkan oleh partai politik tertentu, maka terdapat pihak-pihak yang tidak sepakat dengan gerakan tersebut, sehingga sering pula terdengar suara yang sinis terhadap usaha tersebut.
Demikianlah usaha-usaha implementasi Pancasila yang pernah diselenggarakan selama pemerintahan Presiden Soekarno. Kita tidak memberikan pendapat setuju atau tidak, tetapi sekedar menggambarkan situasi yang terjadi pada waktu itu. Memang boleh saja orang berbeda pendapat, namun sekurang-kurangnya ada usaha untuk mengimplementasikan Pancasila, meski berbagai pihak ada yang berpendapat bahwa telah terjadi penyelewengan dalam implementasi tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silakan Tulis Komentar Anda