PENDAHULUAN
Tindakan anarkis entah itu berupa perusakan, pengeroyokan, pembakaran tersangka, penjarahan dan lain-lain pada dasarnya adalah hasil dari suatu perilaku kolektif (collective behavior). Bila dinamakan perilaku kolektif, bukanlah semata-mata itu merupakan perilaku kelompok melainkan perilaku khas yang dilakukan sekelompok orang yang anggotanya pada umumnya tidak saling kenal, bersifat spontan dan mudah cair (dalam arti menghentikan perilakunya).
Kelompok yang lalu disebut entah itu crowd, craze dan mob itu, pada dasarnya sama pula secara kondisional yakni telah mengalami deindividuasi. Deindividuasi tersebut memungkinkan seseorang atau sekelompok orang melakukan tindakan-tindakan destruktif dan sadis di luar rasionalitas individual dari para pelakunya (berkaitan dengan tema ini, penulis banyak dipengaruhi pikiran-pikiran Smelser, 1970).
Uraian ini pertama-tama bertujuan memberi kontribusi atas permasalahan yang dihadapi kepolisian menghadapi dinamika masyarakat yang terlalu eksplosif akhir-akhir ini. Dalam kaitan itulah tulisan ini mempergunakan perspektif kepolisian dalam melihat fenomena perilaku kelompok ini.
ANARKIS ATAU PASIFIS
Secara logis sebenarnya bisa dikatakan, bahwa tindakan anarkis akan menurun drastis bila frekuensi kemunculan perilaku kolektif juga ditekan habis-habisan. Dalam hal ini, yang paling efektif melakukan tekanan itu sebenarnya anggota masyarakat sendiri, dan bukan polisi, mengingat perilaku kolektif bisa muncul dimana saja kapan saja secara tak terduga padahal polisi tidak mungkin berada dimana-mana. Terlebih lagi bila diingat bahwa masyarakat Indonesia termasuk tipe masyarakat yang mudah terbawa atau hanyut dalam perilaku kolektif.
Cara masyarakat melakukan tekanan itu adalah sebagai berikut: dengan tidak mudah kehilangan rasionalitas, dan selanjutnya mengadakan penolakan berbasis individual terhadap dorongan itu.
Terhadap kecenderungan menyambut ajakan perilaku kolektif tersebut, yang masih saja menjadi misteri dari suatu tindak anarkis adalah sebagai berikut: Bila situasi anarkis adalah titik ekstrim dari perilaku kolektif, maka situasi pasifis (situasi aman dan tenang) adalah titik ekstrim lainnya. Bila perilaku a-sosial (perilaku menyimpang dan melanggar) adalah titik ekstrim, maka seharusnyalah perilaku pro-sosial (seperti perilaku menolong tanpa pamrih atau mengorbankan diri untuk orang lain) adalah ekstrim lainnya dari perilaku kolektif. Baik situasi pasifis dan perilaku pro-sosial, dengan demikian, mestinya sama potensialnya untuk muncul dibanding situasi anarkis dan perilaku a-sosial.
Permasalahannya adalah: mengapa yang selalu muncul adalah situasi anarkis dan perilaku a-sosial? Mengapa pada saat ada seseorang yang menganjurkan untuk anarkis, ternyata tidak ada (atau sedikit sekali) orang yang minimal berkata ”jangan” ? Padahal, di pihak lain, bisa diduga bahwa sebagian kecil atau sebagian besar peserta dari kelompok anarkis itu adalah orang-orang yang juga terdidik, memiliki sopan-santun, datang dari keluarga kelas menengah, menjalankan ibadah agama, telah menikah dan memiliki anak hingga juga menduduki status sosial tertentu di masyarakat.
Beberapa faktor itu, selama ini, kita yakini sebagai yang memberdayakan orang untuk menciptakan situasi pasifis dan melakukan tindakan pro-sosial. Nyatanya, untuk konteks Indonesia, hal-hal tersebut tidak ampuh sama sekali dalam menghadapi faktor tekanan kelompok (peer pressure) yang menganjurkan anarki tadi.
KEYAKINAN BERSAMA
Salahsatu kontributor dari munculnya tindakan anarkis adalah adanya keyakinan/anggapan/perasaan bersama (collective belief). Keyakinan bersama itu bisa berbentuk, katakanlah, siapa yang cenderung dipersepsi sebagai maling (dan olehkarenanya diyakini “pantas” untuk digebuki) ; atau situasi apa yang mengindikasikan adanya kejahatan (yang lalu diyakini pula untuk ditindaklanjuti dengan tindakan untuk, katakanlah, melawan).
Perasaan tidak aman atau rasa takut pada kejahatan pada umumnya juga diakibatkan oleh diyakininya perasaan bersama tersebut, terlepas dari ada-tidaknya fakta yang mendukung perasaan tadi.
Media-massa dalam hal ini amat efektif menanamkan citra, persepsi, pengetahuan ataupun pengalaman bersama tadi. Maka, sesuatu yang mulanya kasus individual, setelah disebarluaskan oleh media-massa lalu menjadi pengetahuan publik dan siap untuk disimpan dalam memori seseorang. Memori tersebut pada suatu waktu kelak dapat dijadikan referensi oleh yang bersangkutan dalam memilih model perilaku.
Perhatikan bahwa, pada awalnya, kecenderungan membakar pelaku kejahatan hingga tewas ditemukan di Cengkareng, Jakarta Barat. Setelah dengan intens diberitakan di media-massa, secara beruntun fenomena yang sama lalu terjadi di belahan tempat di Jakarta. Dan barulah sekitar setengah tahun kemudian (sekadar untuk memperlihatkan bahwa terdapat penularan) fenomena ini kemudian ditemukan pula di luar Jakarta.
Adanya keyakinan bersama (collective belief) tentang suatu hal tersebut amat sering dibarengi dengan munculnya entah simbol, tradisi, grafiti, idiom/ungkapan khas dan bahkan mitos serta fabel yang bisa diasosiasikan dengan kekerasan dan konflik. Sebagai contoh, mitos tentang “kompleks Siliwangi”, STM Budut” atau “anak Berlan”.
Pada dasarnya kemunculan hal-hal seperti simbol, tradisi dan lain-lain itu mengkonfirmasi bahwa masyarakat setempat mendukung perilaku tertentu, bahkan juga bila diketahui bahwa itu termasuk sebagai perilaku yang menyimpang. Adanya dukungan sosial terhadap suatu penyimpangan, secara relatif, memang menambah kompleksitas masalah serta, sekaligus, kualitas penanganannya.
Secara perilaku, dukungan itu bisa juga diartikan sebagai telah munculnya kebiasaan (habit) yang telah mendarah-daging (innate) di kelompok masyarakat itu. Adanya graffiti atau coretan-coretan di gang-gang kampung berbunyi “mobil nyenggol pengemudi benjol”, unjuk rasa yang selalu diiringi kepalan dan teriakan, atau ungkapan khas Betawi “gue babat lu” adalah contoh-contoh kecil dari begitu eksplisitnya dukungan masyarakat terhadap kekerasan. Pada suatu waktu, hal itu bakal menyumbang besar pada timbulnya anarki.
Maka, terhadap adanya kecenderungan peningkatan anarki di masyarakat, sadarlah kita bahwa kita berkejaran dengan waktu. Pencegahan anarki perlu dilakukan sebelum tindakan itu tumbuh sebagai kebiasaan baru di masyarakat mengingat telah cukup banyaknya kalangan yang merasakan “asyik”-nya merusak, menjarah, membakar dan lain-lain tanpa dihujat apalagi ditangkap (lihat Meliala dalam Gamma, 2000).
Berkaitan dengan ketidaksadaran dari banyak kalangan perihal beroperasinya suatu keyakinan bersama menyusul suatu tindak anarki, adalah kebiasaan kita untuk kemudian menunjuk adanya provokator. Provokator tersebut, secara teoritik, dapat dipersamakan dengan agitator atau insinuator bila hasil kerjanya berupa munculnya rasa marah dan kemauan berkonflik pada diri orang yang di-agitasi atau di-insinuasi.
Selanjutnya, kerap kita membayangkan bahwa provokator tersebut adalah orang di luar kelompok atau massa (entah yang cair atau terorganisasi) yang mengabarkan cerita buruk dan bohong. Tak cukup dengan itu, dapat pula diimajinasikan bahwa provokator itu melakukannya seraya berbisik-bisik dengan mata curiga dan berjalan mengendap-endap. Cukup mengherankan bila polisi, sebagai profesional yang seharusnya mengetahui bagaimana perilaku kolektif muncul dan bekerja, juga ikut-ikut mengemukakan hal yang sama.
Mengenai bayangan itu, diduga kuat tidaklah demikian dalam kenyataannya. Yang lebih mungkin terjadi adalah bahwa antar anggota kelompok atau massa itu sendirilah yang saling memprovokasi, saling mengagitasi atau saling menginsinuasi satu sama lain agar melakukan tindak anarki. Bila begitu, tak ayal, efeknya akan jauh lebih hebat dan lebih mungkin berhasil.
KELOMPOK TERORGANISIR
Anarki, sebagaimana telah disinggung di atas, dilakukan dalam rangka perilaku kolektif oleh massa yang spontan berkumpul dan, sepanjang diupayakan, dapat dengan mudah cair kembali. Dengan demikian, secara kepolisian, memang relatif lebih mudah memecah-belah massa dari tipe ini sepanjang tersedia perkuatan (enforcement) yang cukup.
Yang jauh lebih merepotkan adalah, bila anarki dilakukan oleh orang-orang dari kelompok tertentu yang terorganisasi, memiliki motif militan dan radikal serta membawa senjata (atau benda-benda lain yang difungsikan sebagai senjata). Pelakunya juga bisa datang dari suatu komunitas yang, katakanlah, telah terinternalisasi dengan nilai dan ide kekerasan sebagaimana disebut di atas dan menjadi radikal karenanya (lihat Meliala, Pembaruan, 2001).
Maka singkatnya, anarki pada kelompok cair adalah sesuatu hal yang niscaya, wajar terjadi atau tak terhindarkan. Sedangkan anarki pada kelompok yang terorganisasi adalah efek yang sudah diperhitungkan (calculated effect), yang akibatnya sudah diperhitungkan dalam kaitannya dengan yang lain (systematic effect). Sehingga benar bila dikatakan efek itu sendirilah yang justru diinginkan untuk terjadi (intended effect). Anarki oleh kelompok terorganisir ini umumnya terencana, memiliki cukup kekuatan dan jaringan, memiliki motif tertentu dan juga target-target tertentu.
Kekerasan yang muncul kemudian, entah dalam rangka unjuk rasa, pawai atau mogok massal yang seluruhnya berawal secara damai, semakin mengundang media untuk meliput (studentadvantage.com,2001). Kekerasan, yang tidak dikehendaki kemunculannya oleh polisi, kemudian menghadirkan spiralling effect berupa adanya masalah baru, yakni ketika media datang. Hal ini juga kerap terjadi di Indonesia.
Berbeda dengan anarki oleh kelompok cair yang secara teoritik sulit sekali dibendung oleh polisi sejak fase paling awal, maka kalau mau, polisi sebenarnya dapat membendung anarki yang diproduksi oleh kelompok terorganisir dan terencana ini.
Bila masyarakat sendiri yang perlu mencegah anarki oleh massa spontan, maka hanya polisilah yang mampu (dan diperbolehkan oleh undang-undang) untuk mencegah dan menindak anarki jenis kedua tadi sesuai fungsinya sebagai pemelihara ketertiban umum (public-order policing). Intelijen kepolisian yang kuat tentu dapat mendeteksi niat para perancang unjuk rasa, misalnya, untuk “menabrak” siapapun yang mencegah ulah brutal mereka.
KETIDAKPERCAYAAN PADA HUKUM
Sering dikatakan, tindakan anarkis itu identik dengan ketidakpercayaan pada polisi. Daripada menyerahkan segala sesuatunya kepada polisi dengan kemungkinan tidak mendapatkan keadilan sebagaimana dipersepsikan, maka lebih baik merekalah yang menjadi polisi, jaksa sekaligus hakimnya.
Perihal ketidakpercayaan itu, diduga bisa benar namun bisa pula tidak. Dikatakan benar karena, betapapun hendak disangkal, nyatanya ada saja oknum polisi yang menyalahgunakan wewenangnya. Alih-alih melakukan penyidikan dan pemberkasan, yang kemudian terjadi adalah transaksi uang dari tersangka kepada oknum polisi tersebut agar bisa ditahan luar atau bahkan ditangguhkan perkaranya.
Tetapi hal itu bisa pula dikatakan tidak benar, mengingat yang sebenarnya dikeluhkan oleh para anarkis tadi adalah “kinerja hukum pada umumnya yang tidak memenuhi harapan”.
Ada yang mengatakan “penegak hukum bekerja lambat” ; tetapi bukankah jaksa dan hakim itu bekerja jauh lebih lambat dibanding polisi?. Ada pula yang mengatakan, “tuntutan buat tersangka rendah”; tetapi bukankah menuntut itu bukan pekerjaan polisi? Atau dikatakan pula, “pelaku akhirnya bisa lenggang-kangkung lagi”; tetapi bukankah memutuskan perkara juga bukan pekerjaan polisi?.
Hanya saja, selaku personifikasi hukum dan elemen terdepan dalam proses penegakkan hukum, polisi memang kerap terpaksa menerima getahnya mengingat polisilah yang secara langsung berurusan dengan tindak anarkis itu dan bukan aparat hukum lainnya.
Juga perlu disebutkan bahwa, terdapat kecenderungan yang semakin menyulitkan kepolisian pada umumnya berkaitan dengan pemeliharaan ketertiban umum. Sebagai contoh, dapat kita lihat apa yang terjadi di Amerika Serikat berkaitan dengan upaya negara menjunjung terlaksananya hak kebebasan berbicara (dikenal dengan the First Amendment) maka Mahkamah Agung Amerika Serikat memutuskan sebagai berikut :
“… citizens must tolerate insulting, and even outrageous, speech in order to provide adequate breathing space to the freedoms protected by the First Amendment.” (Boos v. Barry, 1988 in Schofield, 2001)
Menghadapi dilemma ntara ketetapan konstitusional dan pelaksanaan teknis di lapangan, menurut Schofield (2001), kepolisian jelas menghadapi kesulitan besar. Sehubungan dengan itu pula, muncul pula keputusan pengadilan, yang secara langsung atau tidak langsung membantu kepolisian, berkaitan dengan keharusan memperoleh ijin sebelum mengadakan kegiatan di wilayah publik, pengaturan terhadap ancaman kekerasan yang mungkin muncul selama unjuk rasa, pelarangan berkaitan dengan suara yang ditimbulkan atau wilayah-wilayah tertentu yang menurut kepolisian dilarang untuk diduduki oleh para demonstran.
ANTISIPASI POLISI
Dari sudut yang lain, dapat kita amati bahwa adakalanya anarki tercipta secara kebetulan (by chance) atau kecelakaan (by accident). Singkatnya, terdapat begitu banyak kemungkinan yang bisa melahirkan anarki. Namun yang ingin disorot di sini adalah peran polisi yang bisa meredam anarki secara lebih meluas atau malah meng-incite atau membakar anarki yang lebih parah.
Menyadari proses terjadinya anarki yang amat cepat, maka sebenarnya terdapat fase (yang juga amat singkat) dimana polisi masih bisa melakukan tindakan awal dalam rangka pencegahannya. Lepas dari fase tadi, kemungkinan besar dinamika massa telah berkembang menjadi sesuatu yang harus ditangani secara keras. Pemanfaatan optimal atas fase yang amat singkat tadi tergantung pada cukup-tidaknya data awal (base data) yang dimiliki polisi setempat berkaitan dengan karakteristik situasi tertentu.
Masalahnya sekarang, dimana bisa kita temui polisi yang bisa dan mampu meredam atau menindak anarki? Memang, bila anarki telah secara faktual terjadi, maka polisi membutuhkan perkuatan yang seimbang dengan banyaknya massa. Pada saat itu, ide bahwa “seorang polisi pun sudah terlalu banyak untuk melambangkan hukum yang bekerja”, tidak dapat lagi diterima oleh massa anarkis yang sudah hilang kesadarannya tadi.
Dalam kaitan itu, cukup wajar bila polisi (dalam hal ini Brigade Mobil) lalu mengikuti prinsip militer yang mementingkan unit, regu, peleton dan aneka fungsi yang diembannya. Tetapi, sebagaimana disebut di atas, terdapat fase-fase awal (sebelum massa berubah anarkis) yang sebenarnya dapat diintervensi oleh polisi. Dan, untuk itu, seorang polisi pun sebenarnya sudah lebih dari cukup.
Hanya saja, polisi Indonesia nampaknya belum cukup terlatih untuk itu. Sebagai contoh, pelatihan polisi negosiator guna menghadapi unjuk rasa baru diadakan pada tahun 2000 ini. Alhasil, paradigma polisi saat menangani massa, boleh jadi belum berubah banyak. “Resep” menghadirkan pasukan pengendali huru-hara dari kesatuan Brimob atau Dalmas dari KOD setempat, yang bertameng dan memakai rotan, masih dianggap sebagai obat manjur.
Padahal, dalam kenyataan, kehadiran pasukan pengendali huru-hara yang terlalu pagi, malah bisa mempercepat lajunya proses menuju anarki. Atau seperti disebutkan dalam media-massa Amerika Serikat “…when people see batons, raised, riot gear and mounted police clearing an area, a tense situation becomes a violent one.” (studentadvantage.com, 2001)
Secara teori, penggunaan polisi paramiliter seperti Brimob dalam rangka menghadapi aksi massa memang tidak sepenuhnya tepat. Teori pemolisian paramiliteristik memperlihatkan adanya kegiatan pemolisian oleh orang-orang yang tidak memiliki basis hubungan apapun dengan kalangan yang menjadi obyek kerjanya (Bull & Stratta, 1995). Kegiatan yang dilakukan pun berbentuk standar dan umum, dalam arti cenderung dikenakan pada semua kalangan. Akibatnya, amat mungkin terjadi krisis legitimasi terhadap polisi yang lalu cenderung menimbulkan penolakan dan bahkan perlawanan dari masyarakat yang menjadi obyek kerjanya.
Selain itu, diyakini pula bahwa memang tidak cukup banyak personil polisi yang siap (atau terbiasa) dengan pendeteksian perilaku massa di tempat tugas masing-masing. Kesiapan atau keterbiasaan menghadapi saat-saat awal massa mulai terbentuk, mungkin lebih tinggi bila seorang polisi bertugas di kota besar. Masalahnya, pengalaman memperlihatkan, kerusuhan bisa terjadi dimana saja; entah di desa atau di kota.
Terdapat juga hambatan lain dari masyarakat pada umumnya yang (walaupun belum hilang kesadarannya dalam jiwa massa tadi) boleh jadi tetap mengembangkan prasangka negatif kepada polisi sehingga tidak mau mengikuti perintah polisi untuk, katakanlah, bubar.
Disamping itu, “rekan samping” polisi, yakni TNI, pada level personal diduga kuat tidak kondusif (apalagi membantu) terhadap upaya-upaya polisi menghentikan kemungkinan anarki atau anarki itu sendiri bila telah terjadi.
Adakah kecenderungan enggan membantu itu, salahsatunya, diakibatkan oleh peran oknum TNI sendiri dalam suatu tindak anarki?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silakan Tulis Komentar Anda