1. Perspektif Psikologis
Psikologi massa, atau psikologi sosial, harus ditempatkan dalam ranah komunikasi massa, dan karena itu sebetulnya gejala psikologis dalam komunikasi itu agak dangkal atau sporadis, jika komunikasi itu kita pahami sebagai sesuatu yang terjadi secara otomatis begitu saja [ibarat hanya sekedar berbicara].
Tetapi jika komunikasi itu kita pahami sebagai proses transformasi atau sharing pesan (message), maka gejala psikologisnya akan sangat mendalam, sebab kita sebetulnya sedang berhadapan dengan orang yang berkarakter tertentu, dan karakternya itu dibentuk oleh carapandangnya, atau tujuan-tujuan standard (subject aim) yang ia miliki atau juga adanya tujuan-tujuan ‘titipan’, yang sebenarnya dimiliki oleh orang atau institusi lain.
Karena itu, teori S-R (Stimulus-Respons) memainkan peran penting dalam hal ini. Artinya bahwa tindak komunikasi massa terjadi karena adanya suatu rangsangan (stimuli), dan pesannya itu tersampaikan atau diterima karena adanya respons atau tanggapan.
Jadi ada suatu proses ‘kesalingan’ dalam berkomunikasi, dan hal ‘kesalingan’ itu terjadi karena pihak pemberi stimuli menyampaikan materi atau pesannya secara tepat [dengan bahasa yang bisa dimengerti, dan simbol yang menyentuh], serta si penerima pesan memberi respons yang memadai [bisa negatif, dalam arti menolak atau juga positif, dalam arti menerima].
1.1. Stimulus dan Respons
Memahami dua hal ini adalah sama halnya dengan memahami manusia secara utuh. Rata-rata dalam teori psikologi behaviorisme, seperti dianut Skinner, manusia terbatas dalam berhubungan dengan lingkungan dan sesamanya. Keterbatasan itu diakibatkan karena secara fisiologis, kita hanya memiliki lima alat indra,– penglihatan (mata), pendengaran (telinga), penciuman (hidung), perabaan (kulit), dan perasa (lidah). Panca indra itu merupakan satu kesatuan dalam menangkap setiap stimuli yang sifatnya memberi data untuk menjelaskan suatu perilaku manusia. Jadi adanya S-R itu tidak bisa dimengerti sebatas apa yang kita tangkap dengan indra itu, melainkan jauh lebih mendalam dan komprehensif. Yaitu kita harus melibatkan kemampuan kognitif (pemikiran, thought) dalam memahami setiap pesan stimuli.
Stimuli akan membawa kita pada adanya suatu obyek perangsang, dan polanya datang kepada kita melalui apa yang kita tangkap dengan indra tadi. Dari data yang berhasil ditangkap indra, kita harus membuat kesimpulan, dan proses menarik kesimpulan itu adalah proses adaptasi hasil tangkapan indra dengan akal budi, atau pemikiran. Jadi proses yang berlangsung setelah menerima rangsangan adalah proses ‘meresapi’ (to fell) dan ‘memahami’ (verstehen, understanding).
Kesimpulan itu yang mematangkan kita untuk yakin bahwa apakah sesuatu yang kita terima itu ‘baik’, ‘benar’, ‘tepat’, atau sebaliknya ‘buruk’, ‘salah’, ‘keliru’. Keyakinan itu yang menuntun kita untuk menjadi percaya akan ada tidaknya pesan dari stimuli tadi, dan itu akan membimbing suatu perilaku tertentu sebagai bentuk respons.
Dengan memasukkan proses kognitif tadi maka setiap bentuk perilaku yang muncul bukanlah hasil ‘ramalan’ (guess), melainkan hasil pemikiran yang komprehensif. Oleh sebab itu jika kemudian hasil pemikiran itu melahirkan aksi sosial atau tindakan sosial, semua itu didorong oleh keyakinan yang telah terbentuk tadi.
1.2. Menyebrang dari Individu ke Massa (Kelompok): Mencoba Memahami Karakter Individu dalam Massa
Psikologi itu memiliki obyek material yakni manusia, dalam hal ini perilaku manusia, baik sebagai individu maupun kelompok. Aspek perilaku yang diteliti dalam psikologi itu kompleks, termasuk perilaku kerja dan perilaku aksi massa. Hal ini perlu dikatakan sebab, di sekitar individu dan masyarakat ada medan stimulus yang sangat kuat dan kompleks, dan proses pemberian rangsangan itu terjadi melalui berbagai media perantara, termasuk organ indra manusia itu.
Jika kita berbicara mengenai psikologi massa, maka sebetulnya kita menjadikan massa sebagai suatu medan di mana proses-proses S-R tadi terjadi. Dalam hal itu, kemampuan mengidentifikasi bentuk perilaku massa adalah sesuatu yang penting.
2. Massa Juga Punya Psikologi Tersendiri
Menurut Sarlito Wirawan Sarwono, dengan mengutip N. Smester, ada enam faktor yang menjadi prasyarat terjadinya perilaku massa; yakni: 1) tekanan sosial, seperti kemiskinan, pengangguran, biaya hidup, dan pendidikan yang mahal; (2) situasi yang kondusif untuk beraksi massa, seperti pelanggaran tidak dihukum dan diliput media massa; (3) adanya kepercayaan publik, dengan aksi massa situasi bisa diubah; (4) peluang (sarana dan prasarana) untuk memobilisasi massa; (5) kontrol aparat yang lemah, dan (6) faktor keyakinan publik, yang jarang tergoyah.
Keenam faktor ini menjadi faktor-faktor yang juga turut membentuk sifat irasional, emosional, impulsif, agresif, dan destruktif pada diri seseorang (G.Le Bon). Oleh sebab itu, dalam menanggapi stimuli tadi, ada juga massa yang ‘jinak’ (seperti pengunjung pasar, atau penonton bioskop), mereka tidak tergoda dengan pemicu itu karena tidak ada pemicu yang potensial.
Berbeda dengan kelompok demonstran. Kelompok ini cukup tergoda dengan pemicu yang potensial, tetapi aksi massanya masih bisa dikontrol. Walau dalam beberapa kasus terjadi tindakan destruktif, tetapi daya respons mereka terhadap potensi pemicu potensial sedikit berbeda dari perusuh. Artinya, potensi picu itu bisa bertahan secara temporer, tetapi juga bisa permanen. Karena itu mengapa konflik sosial selalu langgeng, dan bahkan sekali waktu bisa muncul lagi.
Artinya, ada pemaknaan bertingkat dari individu dan massa terhadap suatu potensi picu yang mereka terima sebagai suatu rangsangan (stimuli).
3. Penutup
Semoga kita terbantu untuk memahami setiap rangsangan yang diterima dan memberi respons yang baik terhadap rangsangan-rangsangan itu.
Psikologi merupakan disiplin yang beranekaragam dan memiliki berbagai cabangan spesialisasi, seperti: psikologi kepribadian, psikologi sosial, psikologi industri, psikologi penyuluhan, psikologi abnormal, psikologi fisiologis, psikologi klinis, psikologi arkitektural, psikologi humanistis, psikologi pendidikan, dan seterusnya. Mungkin di situ kita tidak menjumpai defenisi khusus ‘psikologi massa’. Tetapi jika ‘massa’ itu dipahami sebagai masyarakat atau komunitas, kita akan menemukan ruangnya pada psikologi sosial itu sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silakan Tulis Komentar Anda